Blogger news

Rabu, 06 November 2013

TASAWUF ISLAM

PENDAHULUAN
Peradaban modern yang dimulai sejak abad XVII merupakan awal dari kemenangan rasionalisme dan empirisme dari dogmatisme agama. Dapat difahami karena di abad modern ini, barat cenderung memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama yang sekarang lebih dikenal dengan sekularisme
Filsafat barat modern memang memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat rasionalisme. Manusia seolah ditunjukkan kepada pemikiran duniawi sehingga Tuhan, surga, neraka, malaikat, iblis dan persoalan-persoalan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Manusia menjadi bebas dari masalah magis, religi, kepercayaan dan semua yang mereka anggap irrasional. Menusia berevolusi menjadi makhluk bebas dan otonom seperti dalam pemikiran Descartes , Immanuel Kant , Satre , dn Frederich Nietzsche .
Ditengah kancah kehidupan global tersebut terdapat fenomena dimana ada kelompok solial tertentu yang terperangkap dalam keterasingan, yang sering disebut dengan alienasi. Manusia seperti itu sebenarnya sudah kehilangan makna dalam hidupnya, atau disebut manusia kosong. Para sosiolog memandang bahwa penyebab gejala alienasi tersebut diantaranya:   
a. perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat.
b. hubungan hangat antar manusia telah menjadi hubungan yang sangat gersang.
c. lembaga tradisional telah berubah menjadi lembaga nasional.
d. masyarakat yang homogen telah menjadi masyarakat yang heterogen.
e. stabilitas social telah berubah menjadi mobilitas sosial    
Kondisi seperti ini menimbulkan berbaagai kritik dan usaha pencarian paradigma baru yang diharapkan  membawa kesadaran pada setiap manusia agar hidup lebih bermakna. Secara praktis timbul gejala  pencarian makna hidup dan pemenuhan diri yang sarat dengan kehidupan spiritualitas, yang diharapkan mampu mengobati derita kakosongan para alienasi.
Bagaimanapun nilai kemanusiaan hanya dapat difahami ketika perilaku lahir dan batin hanya diorientasikan kepada Tuhan. Manusia tidak dapat difahami tanpa ketergantungan dengan Tuhan dan keterkaitan dengan manusia lain baik secara individu maupun secara komunitas. Pemahaman seperti ini sesungguhnya berada dalam wacana spiritual, dan khazanah Islam yang disebut tasawuf.

APA ARTI TASAWUF
Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam hadist, terdiri dari tiga dimensi: Iman, Islam, Ihsan. Ihsan disebutkan sebagai “beribadah kepada Allah seakan-akan kau melihat-Nya”. Inilah yang menjadi akar dari ilmu tasawuf. Tasawuf sendiri menampilkan dirinya dalam berbagai wajah. Melalui Jalaluddin Ar-Rumi, tasawuf tampil sebagai puisi, tarian, dan music mistik yang memukau. Ditangan Al-Ghozali, ia hadir dalam ajaran-ajaran akhlaq yang penuh tuntunan moral. Lewat Ibn ‘Araby, tasawuf tersaji sebagai teks-teks yang amat kompleks, namun menyimpan pesona eksotis. Melalui Aththar, ia terbentang sebagai kisah pengambaraan spiritual yang mengagumkan dan menegangkan. Lewat Al-Hallaj, ia dikenang sebagai persembahan jiwa di tiang gantungan. Karena keanekaragamannyalah tak jarang dari sebagian besar manusia menangkap gambaran tasawuf sepotong-sepotong
    Sekarang apa arti dari tasawuf itu sendiri? Lebih dari seribu tahun silam, seorang guru besar sufi bernama ‘Ali ibn Ahmad pernah mengeluh bahwa “tak banyak orang yang mengetahui ikhwal dari tasawuf itu. Sekarang tasawuf adalah nama tanpa realitas. Tapi dahulu, adalah realitas tanpa nama”    
Kita sering mendengar bahwa tasawuf disejajarkan dengan “mistisme”, “esoterisme”, atau “spiritualisme” dengan tambahan kata sifat islam di dalamnya. Nama-nam ini masih belum memadai untuk mencerminkan keragaman ajaran tasawuf disepanjang sejarah. Kita harus mengetahui bahwa memang adase suatu di dunia sufi yang menolak domestikasi dan definisi.                   
    Spiritualitas (tasawwuf) merupakan fenomena yang menarik perhatian, dan banyak yang meramalkan akan menjadi tren di abad 21. Ini cukup beralasan karena sejak akhir abad 20 mulai terjadi kebangkitan spiritual dimana-mana. Munculnya gerakan spiritual ini sebagai reaksi terhadap dunia modern yang selalu menekankan terhadap hal-hal yang bersifat materi dan duniawi.  Manusia ingin kembali menengok kembali dunia spiritualnya yang terlupakan.
Kebangkitan spiritual itu terjadi dimana-mana, baik di barat maupun di dunia Islam. Di dunia islam, gerakan spiritual yang akhir-akhir ini menggejala ialah gerakan sufisme dan tarekat.
Fenomana diatas menimbulkan berbagai pertanyaan, mengapa ditengah-tengah kemajuan ilmu dan teknologi, orang-orang cenderung lari ke pencarian spiritual? Apa pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan dunia modern?
Kesimpulan singkat yang dapat dicatat antara lain: pertama, tasawuf adalah basis yang bersifat fitri yang terdapat pada setiap diri manusia. Merupakan potensi illahiyah yang berfungsi, diantaranya untuk mendisain corak sejarah dan kehidupan dunia. Tasawuf dapat mewarnai segala aktifitas, baik sosial, politik, ekonomi, maupun kebudayaan. Kedua, tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali manusia agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh moderenisasi. Ketiga, tasawuf mempunyai dan signifikansi dengn problematika manusia modern karena seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Dapat dipahami sebagai pembentuk tingkah laku manusia melalui tasawuf suluki, dan dapat memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf falsafi. Tasawuf dapat diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan ditempat manapun. Secara fisik ummat muslim mengahadap satu arah yaitu ka’bah, dan secara ruhaniah mereka menempuh jalan melewati maqomat dan ahwal  menuju pada kedekatan (qurb) dengan tuhan yang satu, yaitu Allah.
Karena pentingnya tasawuf, tak heran jika tak sedikit menusia yang memburu untuk memilikinya.  Karena jika manusia hidup tanpa bimbingan spiritualitas, dikehidupannya hanya ada derita batin dan ketidak bermaknaan dalam hidup. Hidup hanya akan terasa hampa, kosong dan tidak tahu arah tujuan hidup ini akan dibawa. Yang lebih parah jika memandang dalam kehidupan ini tidak ada kekuasaan yang mutlak. Seperti yang pernah diorasikan oleh Nitzsche tentang The Death of God yang berarti kematian tuhan. Ia juga berpendapat bahwa agama-agama tidak layak hidup. Akan tetapi secara tidak langsung ini adalah bentuk kematian spiritual Nitzsche sendiri. 
Keterkaitan manusia modern dengan dunia spiritual (tasawuf) pada intinya ingin mencari keseimbangan baru dalam hidup. Mengisi hidup dan kehidupan dengan visi dan artikulasi sufistik akan menjadi penawar krisis spiritual dewasa ini. Misalnya Islam, yang sarat dengan muatan spiritual, dipandang sebagai alternativ pegangan hidup manusia yang haus akan suasana spiritual.
Tasawuf sebagai aspek mistisme dalam islam pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiah manusia dengan tuhan, yang memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya.
Hubungan kedekatan dan penghambaan para sufi pada Kholiqnya akan melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda antara sufi satu dengan yang lainnya. Keakraban dan kedekatan ini mengalami elaborasi sehingga melahirkan dua kelompok besar. Kelompok pertama, adalah kelompok yang mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat dipahami manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan melairkan pemahaman yang kompleks dan mendalam. Pemahaman pertama ini yang kemudian melahirkan tasawuf sunni, yang mempunya tokoh antara lain Al-Junaidi, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali. Sedangkan kelompok yang kedua disebut tasawuf falsafi yang ditokohi oleh Abu Yazid al-Busthami, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Al-Jilli. 
Dari kalangan penganut tasawuf falsafi lahirlah teori teori seperti fana’, baqa’ dan ittihad (yang dipelopori oleh Abu Yazid Al-Busthami), hulul (yang dipelopori oleh A-Hallaj), wahdat al-wujud (yang dipelopori oleh Ibn’araby), insan kamil (yang dipelopori oleh Al-Jilli) yang tidak diakui oleh kalangan sufi sunni. Meski demikian sufi sunni juga masih mengakui kedekatan dengan dengan tuhan, tetapi masih dalam batasan syariat yang masih membedakan manusia dengan tuhan. Teori itu lahir dikarenakan bahwa kaum sufi falsafi mengakui kebersatuan antara manusia dengan tuhan. 

KONTEKS ISLAM MENURUT PARA SUFI
Nabi Muhammad SAW mendefinisikan Islam “ bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji” beliau juga menyatakan konteks iman adalah “percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat Allah, percaya kepada kitab Allah, percaya kepada rasul Allah, percaya pada hari kiamat, percaya kepada qodlo dan qodar” Nabi juga menyatakan konteks Ihsan adalah “beribadahlah kepada Allah seolah-olah kau melihatNya, tapi jika kau tak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu”
Iman dan Islam sudah dikenal luas oleh kalangan pengakaji islam. Keduannya jelas mengandung penegasaan tentang kesaan Allah SWT dan keyakinan-keyakinan yang mutlak. Yang perlu dicermati adalah kategori ketiga dalam hadist tersebut yaitu Ihsan yang mempunyai kedudukan yang sama penting dengan Iman dan Islam, meskipun –menurut para ilmuan barat- maknanya hampir tidak jelas.
Ihsan tidak dibahas oleh para ahli hukum islam (fuqoha), mereka menerangkan tetnang syariat yang menguraikan ahwal Rukun Islam dan berbagai amal ibadah yang dilaksanakan oleh ummat muslim. Ihsan sendiri juga tidak dibahas oleh para ahli ilmu kalam dan teologi (mutakallimun), yang lebih cenderung mengartikulasikan dan mempertahankan ajaran-ajaran aqidah Islam, karenanya sulit untuk menemukan penjelasan tentang Ihsan tersebut. Maka dari itu, kaum sufilah yang menjadikan Ihsan sebagai bidang studi mereka. 
Jadi tak heran jika teori-teori sufisme, terkadang tak bisa diterima oleh kalangan awam karena tingkat keIhsanan mereka yang mungkin terlalu tinggi untuk dimengerti oleh kalangan tersebut. Teori-teori tersebut tak seharusnya diajarkan oleh orang-orang yang baru mengenal islam, atau yang bisa dibilang tingkat keimanannya masih lemah, karena bisa menjadi hujjah untuk melencengkan aqidah bagi yang belum memahaminnya.
Eksternelnya, Islam adalah agama yang memberitahukan kepada ummat manusia akan perintah yang harus dikerjakan dan larangan yang yang harus ditinggalkan. Segala perbuatan baik dan buruk dijelaskan dalam syariat, konsep hukum sistematis yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah Nabi, tetapi dikembangkan oleh para ulama generasi ke generasi. Dapat diumpamakan syariat adalah tubuh dalam islam, karena menjelaskan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh anggota tubuh.  
Internalnya, islam merupakan agama yang menunjukan manusia untuk mengenal dan memahami lebih dalam dunia dan diri mereka sendiri. Dimensi ini berhubungan dengan pikiran manusia, atau bisa disebut keimanan. Karena seluruh dari bagian orintasinya adalah objek-objek yang berkaitan tentang keimanan. Semua ini disebutkan terus-menerus dalam Al-Quran. Dan pengkajian tentang sifat dan hakikatnya menjadi wilayah dari berbagai displin ilmu seperti ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf teoritis .
Pada tataran yang lebih dalam lagi, Islam adalah agama yang mengajarkan kepada manusia bagaimana mentransformasikan diri mereka sendiri agar dapat menciptakan keselarasan dengan sumber dari segala wujud.
Jika dimensi Islam mencermati berbagai aktifitas yang harus dijalankan dan ditinggalkan karena tuntutan situasi hubungan kita dengan Allah SWT, dan dimensi Iman menyangkut pemahaman kita akan diri kita sendiri dan pihak lain, maka dimensi Ihsan menunjukkan jalan mendekatkan diri kepada Allah. Bagi yang peka terhadap kehidupan agama, berbagai istilah yang membahas inti dari Ihsan langsung bisa dikenal sebagai sebagai jantung dan hakikat agama yang meliputi kebaikan, cinta, kebijakan, dan kesempurnaan.

TIGA WILAYAH IMAN.
Dalam hadis lain, Nabi SAW berbicara tentang makna Iman; “Iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan mulut, mengamalkan dengan anggota badan”. Secara tidak langsung hadis ini juga menjelaskan bahwa manusia juga tersiri dari tiga domain yang tertata secara jelas –hati atau kesadaran batin, lisan atau artikulasi pemahaman, raga atau anggota badan. Ketiga domain ini sangatlah berbeda kendati mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Meskipun berbeda, ketiga domain ini banyak dikaji oleh berbagai disiplin ilmu.
“Mengamalkan dengan anggota badan”, atau mempraktikkan keimanan, adalah domain fiqh atau yurispudensi Islam. Disinilah manusia tunduk dihadapan Allah dengan mematuhi segala ketentuan-ketentuan yang diterapkan syariat.
“Mengikrarkan dengan lisan” adalah wilayah ungkapan keimanan dalam diri yang terartikulasikan. Manusia dibedakan dengan makhluk lainnya karena kemampuan bahasanya. Dalam kedudukan sebagai domain pengetahuan, menyatakan keimanan menjadi bidang garapan para ulama yang mengkaji cara-cara terbaik untuk mengenal Allah, alam, dan jiwa manusia.
“Membenarkan dengan hati”, adalah mengakui kebenara realitas objek-objek iman dalam wilayah terdalam kesadaran manusia. Hati, dalam Al-Alquran adalah pusat kesadaran, kehidupan, kecerdasan, dan intensionalitas. Hatipun sadar dan terjaga sebelum akal mengartikulasikan pikiran. Bagian paling hakiki dari iman hanya dapat ditemukan dalam hati.
Definisi tiga domain dalam Iman yang dekemukakan Nabi SAW itu menunjukan tiga domain  yang sama seperti dalam hadis qudsi –badan, lisan, dan hati; atau aktifitas, pemikiran, dan kesadaran. Wilayah badan diatur oleh syariat, wilayah lisan diekspresikan dengan teologi, dan wilayah hati dikaitkan dengan kebijakan (ihsan). Untuk mencapai ihsan, hati haruslah mempunyai akar yang kuat dalam kesadaran tentang kebenaran dan realitas secara prakognitif. Amal-amal kebaikan haruslah timbul dari kedalaman hati secara spontanitas, sebelum ada artikulasi mental dan aktifitas fisik .
Ketiga domain ini dikaji dan ditelaah oleh para ulama. Domain aktifitas atau amal yang benar menjadi bidang kajian para Fuqaha. Domain pemikiran yang benar menjadi bidang kajian para teolog. Dan domain pengelihatan yang benar menjadi bidang kajian para sufi. Seseorang tidak bisa melihat sesuatu sebagaimana adanya dengan mata atau pikiran, melainkan dengan hati. Dari hati, pengelihatan yang benar akan memancar dan menembus setiap pori-pori tubuh kita yang menentukan pikiran dan aktifitas.
PENUTUP
Jika tasawuf bemula sebagai “realitas tanpa nama”, ini disebabkan karena ummat muslim yang mencintai Allah dalam kurun awal islam semata-mata hanya mencintai Allah dan meneladani Nabi Muhammad SAW. Pada gilirannya, mereka akan dicintai Allah. Mereka tidak perlu menamai apa yang mereka kerjakan. Akan tetapi, waktu demi waktu berlalu, manusia telah sulit untuk menghidupkan kembali hakikat cinta, meneladani Nabi Muhammad SAW. Dengan kesetiaan sempurna, dan mencapai derajat yang dimana Allah menjadi pedengaran dan pengelihatan mereka, yang berbicara tentang diri-Nya sendiri atau memperlihatkan tanda-tanda kehadirannya dalam segala sesuatu. Mereka justru berbicara banya tentang bagaimana cara mencapai kehadiran Allah, dan merekapun menyebutnya dengan nama yang mereka gunakan sendiri. Nama itu –tasawuf atau apapun yang lainnya- mulai menghilang. Bagaimanapun juga, realitas itu akan tetap ada.
  
DAFTAR PUSTAKA
 Chittick. C Wiliam, Tasawuf Dimata Kaum Sufi, Bandung, Mizan 2002
Drs. Sholihin. M, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia 2001


0 komentar:

Posting Komentar