Blogger news

Minggu, 03 November 2013

Hadis Mutawatir



A.      PENDAHULUAN
Dalam penentuan suatu hadis itu dilihat dari kualitas dan kuantitas rawi, telaah ini dilakukan ulama dalam upaya menelusuri secara akurat sanad yang ada pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadis lebih dapat dipertimbangkan ketika orang membicarakan hadis yang tidak mutawatir, maka saat itulah telaah hadis dilihat dari kuantitas rawi sangat diperlukan.
Pembagian hadis dilihat dari sudut bilangan perawi yang dapat digolongkankan menjadi dua bagian besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir terbagi menjadi mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Kedua bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah.
Pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk menelusuri tentang hadis-hadis ditinjau dari segi kuantitas rawinya. Terkhusus yaitu hadist mutawatir.
B.      PEMBAHASAN
1.     Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah, mutatabi’ yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beriringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1] Dalam hal ini, mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik secara berturut-turut maupun terus-menerus tanpa adanya hal yang menyela atau menghalangi kontinyuitas itu.[2]
Sedangkan Sohari Sahrani dalam bukunya “ulumul hadits” mengutip beberapa definisi yang menjelaskan tentang hadits mutawatir secara terminologi yaitu terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut.
الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير لا يمكن تواطئهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان ‏مستندهم الحس
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal sanad sampai akhir sanad.
Ada pula yang menyatakan pengertian hadist mutawatir seperti ini:
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطئهم على الكذب
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat istiadat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.
Dalam kitab Al-Minhal al-Lathif  fi Ushulil Hadits asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy juga menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu;
ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك ‏في جميع الطبقات ان تعددت.‏
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang menurut akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra. 
Dari beberapa definisi yang ada, dapat dirumuskan beberapa syarat yang harus ada dalam hadist mutawatir 4 syarat:
a)       Periwayatannya didukung oleh jumlah yang banyak
b)       Menurut logika dan kebiasaannya, tidak dimungkinkan para perawi bersekongkol untuk berdusta
c)       Jumlah rowi-rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.[3]
d)       Sandaran dalam periwayatan mereka menggunakan panca indra dan bukan akal. 
Ulama hadits masih berbeda pendapat tentang jumlah perawi, ada yang menetapkan dengan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat yang dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan para perawi yang mustahil mereka sepakat berdusta. Sedangkan ulama yang mensyaratkan adanya jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. 
Beberapa pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:
a)       Abu at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis pada terdakwah.‎ ‎ Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur : 13. 
b)       Ashab as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar ulul azmi.‎ ‎ Juga ada yang berdasarkan pada permasalahan li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9. 
c)       As-Suyuthy dan Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang paling baik adalah minimal 10 orang, sebab bilangan itu merupakan awal bilangan banyak.‎ ‎Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.
d)       Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 12 orang,‎ ‎ seperti jumlah pemimpin yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12. 
e)       Ada sebagian ulama yang menetapkan 20 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal : 65. 
f)        Ada juga yang mengatakan minimal 40 orang,‎ ‎ ini didasarkan pada QS. ‎‎8. Al-Anfal : 64. 
g)       Ada juga yang menetapkan jumlah minimal 70 orang,‎ ‎ ini didasarkan atas firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155. 
Pada prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti benar-benar bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir adalah maqbul (diterima) dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad atau rijal (periwayat hadits). Bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun periwayatnya adalah bukan seorang muslim. Maka ulama muhaddisin sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim yang bersifat qath’I (pasti), maka dari itu wajib hukumnya untuk membenarkan dan mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir.‎ ‎ Terkait dengan ada atau tidak tentang hadits mutawatir juga masih dipertentangkan oleh ulama. Adapun menurut 1). Ibnu Hibban dan al-Hazimi tidak ada, 2). Ibnu Sholah ada, namun sangat jarang, dan 3). Ibnu Hajar dan as-Suyuti ada. 

2.       KRITERIA HADITS MUTAWATIR
Adapun kriteria yang harus ada dalam hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
a)       Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Jumlah rowi-rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.[4]
Ulama hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi[5], sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah[6]. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar.
b)       Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.
Sekalipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya kebohongan dalam menyampaika hadits.
c)       Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.

3.       MACAM-MACAM HADITS MUTAWATIR
Hadits mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga ulama yang membagi menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadits mutawatir amali[7]
a)         Mutawatir Lafzhi.
Mutawatir Lafzhi ialah:
ما تواتر روايتة على لفظ واحد
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya. Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
Jadi jika ditemukan sejumlah besar perawi hadits berkumpul untuk meriwayatkan dengan berbagai jalan, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, maka nilai yang terkandung di dalamnya termasuk “ilmu yakin” artinya meyakinkan bagi kita bahwa hadits tersebut telah di sandarkan kepada yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah saw.
Dalam menyikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar, diantaranya ialah:
1)       Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat secara marfu’
2)       Ibnu Shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.
3)       Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh 450 sahabat.

b)        Mutawatir Ma’nawiy.
Hadits mutawatir ma’nawiy adalah hadits yang mutawatir maknanya saja bukan lafalnya. ماتواتر معناه دون لفظه. Hgadits mutawatir kategori ini disepakati penukilannya secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda.[8]
هو ان ينقل جماعة يستحيل عادة تواطؤهم على الكذب وقائع مختلفة اشتركت في امر يتواتر ذلك القدر المشترك

Hadits Mutawatir ma’nawiy ialah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan, mereka mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada titik persamaan
Maksudnya adalah hadits yang para perwinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh:
ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ 
                                                        
Rasulullah saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam berdo’a selain dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya tampak putih-putih ke-dua ketiaknya.
4.       FAEDAH HADITS MUTAWATIR
Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qoth’I (pasti).[9]
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawtir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang disepakati oleh ahli ilmu.[10]
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai kesdilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.
5.       KEHUJJAHAN HADIS MUTAWATIR
Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[11]
Mahmud al-Thahan menyatakan bahwa hadits mutawatir bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang mengharuskan manusia mempercayai dan memebenarkan secara pasti seperti orang yang menyaksikan sendiri tanpa disertai keraguan sedikitpun.[12]
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam.[13]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat dipahami bahwa hadis mutawatir pasatilah tidak diragukan lagi kesahihannya karena dilihat dari sisi rawinya berjumlah banyak sehingga tidak mungkin mereka bermufakat untuk berdusta. Oleh karenanya, ulama menetapkan bahwa hadis mutawatir harus diterima sebagaimana umat islam menertima ayat-ayat al-Qur’an. Terminology yang dipakai adalah qath’iy as-tsubut, artinya keberadaan dan ketetapan adanya hadis itu pasti dan benar adanya.
Berangkat dari ketentuan yang terakhir disbutkan tadi, hadis mutawatir sudah barang tentu dapat (kalau tidak dikatakan wajib) dijadikan dalil, artinya bisa diamalkan. Kepastian penggunaan dalil itu diistilahkan dengan qath’iy ad-dilalah.[14]
C.      KESIMPULAN
Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, 1999
Suparta,  Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006.
Abdurrahman bin Qasim ibn Muhammad Al-Asimi, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah, Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t. h. 51
Rahman ,Fathur, Ikhtisar Musthathalah al Hadits, Al Ma’arif: Bandung,1974
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis,Yogyakarta: Aswaja,2012
Suryadilaga, M Al-fatih, Ulumul Hadis, Yogyakarta:teras, 2010





[1] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, hlm:113
[2] Zarkasih, Pengantar Studi Hadits, Yogyakarta: Aswja Persindo, hal: 42
[3] Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.79

[4] Ibid
[5] Hal ini berdasarkan firman Allah:”Mengapa mereka(menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?”.S.An-Nur:13
[6] Seperti S.An-Nur 6-9:”Dan orang-orang yang menuduh isterinya(berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang –orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”.
[7] Zarkasih, ibid, hal: 47
[8] Zarkasih, ibid, hal: 48
[9] Fathur Rahman.1974. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung.hlm.84.
[10] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, hlm:123
[11] Drs. Munzier Suparta, M.A.. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006. H.106
[12] Zarkasih, ibid, hal: 49
[13] Abdurrahman bin Qasim ibn Muhammad Al-Asimi. Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah. Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t. h. 51
[14] Dr. M Al-fatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta:teras, hal: 229

0 komentar:

Posting Komentar