A.
PENDAHULUAN
Dalam penentuan suatu hadis itu dilihat dari kualitas dan
kuantitas rawi, telaah ini dilakukan ulama dalam upaya menelusuri secara
akurat sanad yang ada pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian
kedua aspek inilah, upaya pembuktian shahih tidaknya suatu hadis lebih dapat
dipertimbangkan ketika orang membicarakan hadis yang tidak mutawatir,
maka saat itulah telaah hadis dilihat dari kuantitas rawi sangat diperlukan.
Pembagian hadis dilihat dari sudut bilangan perawi yang dapat
digolongkankan menjadi dua bagian besar yaitu mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir
terbagi menjadi mutawatir lafdzi dan mutawatir ma’nawi. Kedua
bagian ini menjadi nas hukum dalam bidang akidah dan syariah.
Pada kesempatan ini kita akan mencoba untuk menelusuri
tentang hadis-hadis ditinjau dari segi kuantitas rawinya. Terkhusus yaitu
hadist mutawatir.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hadist Mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa adalah, mutatabi’ yakni sesuatu yang datang berikut dengan kita
atau yang beriringan antara satu dengan lainnya tanpa ada jaraknya.[1]
Dalam hal ini, mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat
kontinyu baik secara berturut-turut maupun terus-menerus tanpa adanya hal yang
menyela atau menghalangi kontinyuitas itu.[2]
Sedangkan Sohari Sahrani dalam
bukunya “ulumul hadits” mengutip beberapa definisi
yang menjelaskan tentang hadits mutawatir secara terminologi yaitu terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai
berikut.
الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير لا يمكن
تواطئهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان مستندهم الحس
Hadits mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh sejumah rawi yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal sanad sampai akhir sanad.
Ada pula yang menyatakan pengertian
hadist mutawatir seperti ini:
ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة
تواطئهم على الكذب
Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat istiadat
mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.
Dalam kitab Al-Minhal al-Lathif
fi Ushulil Hadits asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy juga
menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu;
ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حسي, أو
حصول الكذب منهم إتفاقا, ويعتبر ذالك في جميع الطبقات ان تعددت.
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak
perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang menurut
akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta,
dan dalam periwayatannya mereka bersandarkan pada panca indra.
Dari beberapa definisi yang ada,
dapat dirumuskan beberapa syarat yang harus ada dalam hadist
mutawatir 4 syarat:
a)
Periwayatannya didukung oleh jumlah
yang banyak
b)
Menurut logika dan kebiasaannya,
tidak dimungkinkan para perawi bersekongkol untuk
berdusta
c)
Jumlah rowi-rowinya harus mencapai
suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.[3]
d)
Sandaran dalam periwayatan mereka
menggunakan panca indra dan bukan akal.
Ulama hadits masih berbeda pendapat
tentang jumlah perawi, ada yang menetapkan dengan
jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama yang
tidak mensyaratkan jumlah tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat yang dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberitakan para perawi yang mustahil mereka sepakat
berdusta. Sedangkan ulama yang mensyaratkan adanya
jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.
Beberapa
pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:
a)
Abu at-Thaiyyib, menentukan
sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan
banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis
pada terdakwah. Ini didasarkan pada QS. 24. An-Nur :
13.
b)
Ashab as-Syafi’i menentukan minimal
5 orang, diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapat gelar ulul azmi. Juga ada yang berdasarkan pada permasalahan li’an, QS. 24. An-Nur : 6-9.
c)
As-Suyuthy dan Astikhary menetapkan
bahwa jumlah yang paling baik adalah minimal 10 orang,
sebab bilangan itu merupakan awal bilangan banyak. Pendapat inilah yang banyak diikuti oleh para muhaddisin.
d)
Ada pendapat lain yang mengatakan
minimal 12 orang, seperti jumlah pemimpin
yang dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12.
e)
Ada sebagian ulama yang menetapkan
20 orang, ini didasarkan pada QS.
8. Al-Anfal : 65.
f)
Ada juga yang mengatakan minimal 40
orang, ini didasarkan pada QS. 8.
Al-Anfal : 64.
g)
Ada juga yang menetapkan jumlah
minimal 70 orang, ini didasarkan atas
firman Allah dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155.
Pada prinsipnya hadits mutawatir
ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti
benar-benar bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir
adalah maqbul (diterima) dengan tidak diperlukan lagi
kajian tentang sanad atau rijal (periwayat hadits).
Bahkan menurut Imam Nawawi, sekalipun periwayatnya adalah
bukan seorang muslim. Maka ulama muhaddisin sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim yang
bersifat qath’I (pasti),
maka dari itu wajib hukumnya untuk membenarkan dan
mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir. Terkait dengan ada atau tidak tentang
hadits mutawatir juga masih dipertentangkan oleh ulama. Adapun menurut 1). Ibnu Hibban dan al-Hazimi tidak ada, 2). Ibnu
Sholah ada, namun sangat jarang, dan 3). Ibnu Hajar dan
as-Suyuti ada.
2.
KRITERIA
HADITS MUTAWATIR
Adapun kriteria yang harus ada dalam
hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
a)
Diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi
Jumlah rowi-rowinya harus mencapai suatu ketentuan yang
tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.[4]
Ulama hadis berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan
rawinya untuk dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang
mengatakan harus empat rawi[5],
sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya minimal lima orang, seperti
tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah[6]. Ada yang minimal sepuluh orang,
sebab di bawah sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan
jama’, ada yang minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga
yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan yang
terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua
orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar.
b)
Adanya kesinambungan antara perawi
pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi
pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika pada generasi pertama
berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih.
akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua
12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak
dapat dikatakan seimbang.
Sekalipun demikian, sebagian ulama
berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi
persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama
adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya
kebohongan dalam menyampaika hadits.
c)
Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Maksudnya hadits yang sudah mereka
sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka
sendiri.
3.
MACAM-MACAM
HADITS MUTAWATIR
Hadits mutawatir dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi.
Namun ada juga ulama yang membagi menjadi tiga, yaitu ditambah dengan hadits mutawatir
amali[7]
a)
Mutawatir
Lafzhi.
Mutawatir Lafzhi
ialah:
ما تواتر روايتة على لفظ واحد
“Hadits mutawatir lafzhi
ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar
antara riwayat yang satu dengan yang lainnya. Contoh hadits mutawatir
lafdzi adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو
نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ
الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
Jadi jika ditemukan sejumlah besar
perawi hadits berkumpul untuk meriwayatkan dengan berbagai jalan, yang menurut
adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta, maka nilai yang
terkandung di dalamnya termasuk “ilmu yakin” artinya meyakinkan bagi kita bahwa
hadits tersebut telah di sandarkan kepada yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah
saw.
Dalam menyikapi hadits ini, para
ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar, diantaranya ialah:
1)
Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat secara marfu’
2)
Ibnu Shalkah berpendapat bahwa
hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk didalamnya adalah 10 sahabat
yang dijamin masuk Surga.
3)
Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar
al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh 450 sahabat.
b)
Mutawatir Ma’nawiy.
Hadits mutawatir ma’nawiy adalah hadits yang mutawatir
maknanya saja bukan lafalnya. ماتواتر معناه دون لفظه. Hgadits mutawatir kategori ini disepakati
penukilannya secara makna tetapi redaksinya berbeda-beda.[8]
هو ان ينقل جماعة يستحيل عادة تواطؤهم
على الكذب وقائع مختلفة اشتركت في امر يتواتر ذلك القدر المشترك
Hadits Mutawatir ma’nawiy
ialah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan, mereka mustahil
bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda, tetapi bertemu pada
titik persamaan
Maksudnya adalah hadits yang para
perwinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi pada
prinsipnya sama.
Contoh:
ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ
ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ
Rasulullah saw tidak mengangkat kedua
tangan beliau dalam berdo’a selain dalam do’a shalat istisqa’ dan beliau
mengangkat tangannya tampak putih-putih ke-dua ketiaknya.
4.
FAEDAH
HADITS MUTAWATIR
Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri,
yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang
diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan
qoth’I (pasti).[9]
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap
mutawtir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut,
tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir.
Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk
mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum
mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan
mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’
sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hokum yang
disepakati oleh ahli ilmu.[10]
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu
dipersoalkan, baik mengenai kesdilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya
persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan
mereka tidak munkin sepakat melakukan dusta.
5.
KEHUJJAHAN
HADIS MUTAWATIR
Hadis mutawatir mempunyai
nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi), yakni keharusan untuk menerima
dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis tersebut, hingga
membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[11]
Mahmud al-Thahan menyatakan bahwa hadits mutawatir
bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang mengharuskan manusia
mempercayai dan memebenarkan secara pasti seperti orang yang menyaksikan
sendiri tanpa disertai keraguan sedikitpun.[12]
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa
suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian golongan lain dan
kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi
golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu
hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya.
Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya,
wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang
disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam.[13]
Berdasarkan penjelasan sebelumnya
dapat dipahami bahwa hadis mutawatir pasatilah tidak diragukan lagi
kesahihannya karena dilihat dari sisi rawinya berjumlah banyak sehingga tidak
mungkin mereka bermufakat untuk berdusta. Oleh karenanya, ulama menetapkan
bahwa hadis mutawatir harus diterima sebagaimana umat islam menertima
ayat-ayat al-Qur’an. Terminology yang dipakai adalah qath’iy as-tsubut,
artinya keberadaan dan ketetapan adanya hadis itu pasti dan benar adanya.
Berangkat dari ketentuan yang
terakhir disbutkan tadi, hadis mutawatir sudah barang tentu dapat (kalau
tidak dikatakan wajib) dijadikan dalil, artinya bisa diamalkan. Kepastian
penggunaan dalil itu diistilahkan dengan qath’iy ad-dilalah.[14]
C.
KESIMPULAN
Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu
untuk berdusta.
Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar
antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang
rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang
berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, 1999
Suparta,
Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2006.
Abdurrahman
bin Qasim ibn Muhammad Al-Asimi, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn Taimiyah,
Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t. h. 51
Rahman ,Fathur, Ikhtisar Musthathalah al
Hadits, Al Ma’arif: Bandung,1974
Zarkasih, Pengantar Studi Hadis,Yogyakarta:
Aswaja,2012
Suryadilaga,
M Al-fatih, Ulumul Hadis, Yogyakarta:teras, 2010
[2]
Zarkasih, Pengantar Studi Hadits, Yogyakarta: Aswja Persindo, hal: 42
[5]
Hal ini
berdasarkan firman Allah:”Mengapa mereka(menuduh itu) tidak mendatangkan empat
orang saksi atas berita bohong itu?”.S.An-Nur:13
[6] Seperti S.An-Nur 6-9:”Dan orang-orang yang
menuduh isterinya(berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain
diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang
kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang –orang yang berdusta.
Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,
dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar”.
[7]
Zarkasih, ibid, hal: 47
[8]
Zarkasih, ibid, hal: 48
[11]
Drs. Munzier Suparta, M.A.. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2006. H.106
[12]
Zarkasih, ibid, hal: 49
[13]
Abdurrahman bin Qasim ibn Muhammad Al-Asimi. Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn
Taimiyah. Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t. h. 51
[14]
Dr. M Al-fatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta:teras, hal: 229
0 komentar:
Posting Komentar