Pendahuluan
Mutu pendidikan merupakan salah satu tolok
ukur yang menentukan martabat atau kemajuan suatu bangsa. Dengan mencermati mutu pendidikan suatu
bangsa/negara, seseorang akan dapat memperkirakan peringkat negara tersebut di
antara negara-negara di dunia. Oleh
karena itulah, bangsa yang maju akan selalu menaruh perhatian besar terhadap
dunia pendidikannya, dengan melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan, seperti meningkatkan anggaran pendidikan, menyelenggarakan berbagai
lomba dalam berbagai aspek pendidikan, atau mengirimkan para tunas bangsa untuk
menimba ilmu di negara lain. Beragam upaya ini dilakukan karena kesadaran akan
pentingnya pendidikan, dan keyakinan bahwa bangsa yang mengabaikan pendidikan
akan menjadi bangsa yang tertinggal, yang akan kalah bersaing dengan
bangsa-bangsa lain.
Di Indonesia, rendahnya mutu pendidikan
merupakan salah satu dari empat masalah pokok pendidikan yang telah
diidentifikasi sejak tahun 60-an.
Perhatian terhadap pendidikan memang cukup besar, namun meskipun sudah
banyak usaha yang dilakukan, sampai kini masalah mutu pendidikan tampaknya
belum dapat diatasi. Keluhan tentang
rendahnya mutu lulusan masih terus bergema.
Lulusan SD, SLTP, dan SLTA belum mampu bernalar dan berpikir kritis,
serta masih tergantung kepada guru. Kemampuan siswa untuk mandiri belum
terwujud, sehingga prakarsa siswa untuk memulai sesuatu tidak terlampau sering
ditemukan. Penguasaan siswa lebih
terfokus pada pengetahuan faktual karena itulah yang dituntut dalam ujian
akhir. Ujian nasional lebih banyak
menuntut kemampuan siswa untuk menghapal daripada mempersyaratkan mereka
berpikir kritis atau mendemonstrasikan keterampilan.
Pangkal penyebab dari semua ini tentu sangat
banyak tetapi tudingan utama banyak ditujukan kepada guru karena gurulah yang
merupakan ujung tombak di lapangan yang bertemu dengan siswa secara terprogram.
Oleh karena itu, guru dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab
terhadap hasil yang dicapai oleh siswa.
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah seperti ini? Siapa yang harus bertanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentu
muncul pada setiap warga negara yang peduli pada masa depan bangsa, dan
merupakan tantangan besar bagi Departemen Pendidikan Nasional, khususnya bagi
lembaga penghasil guru.
Pembahasan
Menelisik Kembali Sejarah Guru
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita melihat kembali arti guru. WJS
Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusunya mengartika
bahwa guru adalah orang yang pekerjaanya mengajar.[1]
Dalam Ensiklopedi bebas Wikipedia, menggambarkan guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.[2]
Dalam lintasan sejarah, guru memegang
peranan-peranan penting dalam menjalankan dan mengendalikan pimpinan negara dan
kerajaan pada zaman dahulu kala. Dalam sejarah mesir kuno, guru adalah seorang
filosof yang menjadi penasihat raja. Kata-kata guru menjadi pedoman dalam
memimpin negara. Dalam zaman kegilangan falsafah Yunani, Socrates, Plto dan
Aristoteles adalah guru-guru yang mempengaruhi perjalanan sejarah Yunani.
Karena itulah, para filosof arab mengatakan Aristoteles sebagai guru pertama.
Sedang Al-Farabi, orang yang paling mengetahui tentang falsafah Aristoteles
diberi gelar guru kedua.[3]
Dalam sejarah Islam, guru adalah ulama’. Nabi
Muhammad SAW sebagai penerima wahyu mengajarkan wahyu itu kepada
pengikut-pengikutnya. Mula-mula di rumahnya sendiri, kemudian rumah
saudara-saudaranya barulah ke khayalak umum. Dalam seluruh kegiatan Nabi
tersebut, guru selalu disertakan. Dalam perjanjian, perang juga menyebarkan
ajaran Islam ke daerah-daerah yang baru.
Setelah negara Islam bertambah luas,
disiapkanlah orang-orang tertentu yang mengajarkan Islam kepada anak-anak,
remaja maupun orang dewasa. Sudah tentu orang yang menjalankan pengajaran itu
adalah orang yang paling mengerti akan Islam. Dalam sebuah hadits disebutkan
bahwasanya “ulama’ adalah pewaris para nabi”.
Sejarah perkembangan sekolah dalam dalam Islam
menunjukkan bahwa pendidikan Islam diadakan di pondok-pondok, madrasah atau
surau didirikan sebab adanya ulama’ terkenal yang dikunjungi oleh murid-murid
dari berbagai pelosok. Seperti Imam Syafi’i yang pergi berguru pada Imam Malik
di Madinah, walau Imam Syafi’i lahir di Palestina dan dibesarkan di Mekah.
Begitu juga Imam Al-Ghazali pergi berguru kepada Imam Al-Juwaini yang bergelar
Imam Al-Haramain, walau Imam Al-Ghazali berasal dari Khurasan (sekarang di
Iran). Hubungan murid dan guru begitu eratnya sehingga walaupun seorang murid
lebih masyhur daripada gurunya, tetapi ia selalu setia dan hormat kepadanya.
Arti guru menjadi lain ketika penjajahan barat
menginjakkan kakinya di negri jajahanya. Contohnya penjajahan belanda di
nusantara. Berdirilah sekolah Belanda di negri ini. Namun, sekolah itu bukan
karena ada ulama’ terkenal yang dikunjungi oleh murid-murid dari seluruh
pelosok, tetapi sebab penjajah itu perlu pegawai untuk menjalankan penjajahan
mereka. Dengan kata lain, sekolah bertujuan menghasilkan orang yang dapat
menjadi pegawai atau pekerja bila tak mau disebut alat penjajah. Bahkan,
beberapa anak pintar di sekolah dilarang meneruskan ke jenjang selanjutnya
sebab dikhawatirkan akan menuntut kemerdekaan.
Arti guru dan sekolah berubah kembali pada
masa setelah kemerdekaan. Setelah merdeka, timbul tujuan-tujuan lain selain
penciptaan tenaga kerja dan pegawai. Misalnya, perpaduan negara, pengembangan
sumber daya manusia, perbaikan mutu pendidikan dan lain sebagainya. Dengan kata
lain, timbullah nilai-nilai baru yang harus menjadi tujuan kurikulum pelatihan
guru yang dalam masa penjajahan tidak terwujud.
Upaya Peningkatan Kualitas Guru
Peningkatan kualitas guru terus diupayakan
untuk membentuk masyarakat Indonesia yang kreatif dan edukatif. Setidaknya
terdapat tiga unsur untuk meningkatkan kualitas guru yaitu:[4]
1. Kompetensi guru
2. Sertifikasi guru
3. dan tunjangan guru
Kompetensi Guru
Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan
keterampilan dan perilaku tugas yang harus dimiliki. Seteah dimiliki, tentu
harus dihayati, dikuasai dan diwujudkan oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan di dalam kelas yang disebut sebagai pengajaran.
Kompetensi guru meliputi: kompetensi pedagogik
(pendidikan), kepribdian, sosial dan profesional sebagai tuntutan dari profesi.
Kompetisi Pedagogik
Merupakan kemampuan guru dalam pengolahan
pembelajaran untuk kepentingan peserta didik. Paling tidak harus meliputi
pemahaman wawasan atau landasan kepemimpinan dan pemahaman terhadap peserta
didik.
Selain itu, juga meliputi kemampuan dalam
pengembangan kurikulum dan silabus. Termasuk perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi akhir belajar dan pengembangan peserta didik di
dalamnya. Ini semua dimaksudkan demi mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki guru, sekali lagi untuk kepentingan pencapaian tujuan pembelajaran.
Kompetensi Kepribadian
Mencakup kepribadian yang baik, stabil,
dewasa, arif dan bijaksana. Tentu saja berakhlak mulia, serta menjadi teladan
bagi peserta didik dan masyarakat. Secara objektif mampu mengevaluasi kinerja
sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi Sosial
Kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang
sekurang-kurangnya meliputi kompetensi agar mampu berkommunikasi lisan, tulisan
atau secara isyarat. Mampu ula memilih, memilah dan memanfaatkan alat
telekomunikasi yang sesuai secara fungsional dan bergaul ecara efektif dengan
berbagai kalangan serta lapisan.
Pergaulan itu bisa dengan peserta didik,
sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan wali peserta didik. Ini berarti bahwa
guru dalam konteks kompetensi sosial harus kompoten bergaul secara santun dengan
masyarakat di sekitar tempat kerja dan di lingkungan tempat tinggalnya.
Kompetensi Profesional
Merupakan wujud nyata kemampuan penguasaan
atas materi pelajaran secra luas dan mendalam. Mengerti tujuan diajarkanya
materi dan acuan hasil yang akan didapat setelah proses pengajaran. Mampu
mempresentasikan dan memperkaya dengan bacaan-bacaan bermutu.
Keempat standar kompetensi tersebut
mencerminkan empat standar kompetensi guru yang masih bersifat umum. Jadi,
perlu dijabarkan dalam perangkat kompetensi dan subkompetensi yang dikemas
secara koheren dan sistematis dengan menempatkan manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan bertkwa. Tentusaja selain sebagai warga negara
Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab.
Selain poin-pon diatas, diperlukan juga
manajemen pengembangan kompetensi guru yang dapat diartikan sebagai usaha yang
dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan
keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya. Pengembangan kompetensi
guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan: perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, menutupi
kelemahan-kelemahan yang tak tampak pada waktu seleksi, mengembangkan sikap
profesional, mengembangkan kompetensi profesional, dan menumbuhkan ikatan batin
antara guru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kompetensi guru adalah: bimbingan dan tugas, pendidikan dan
pelatihan, kursus-kursus, studi lanjut, latihan jabatan, rotasi jabatan,
konferensi, penataran, lokakarya, seminar, dan pembinaan profesional guru
(supervisi pengajaran). Tentang supervisi pendidikan akan dibahas kemudian.
Sertifikasi Guru
Sebagaimana profesi lain, menjadi guru pun
harus profesional. Adanya profesionalitas akan menjamin mutu pekerjaan suatu
profesi. Oleh karena itu, pemerintah melalui instrumen Peraturan menteri No. 18
Tahun 2007 menetapkan program sertifikasi guru dalam jabatan. Pengertian guru
dalam jabatan ialah semua guru yang saat ini mengajar di sekolah sebagai guru,
baik guru negri maupun swasta.[5]
Guru-guru yang bisa mengikuti sertifikasi
adalah guru-guru yang telah mengajar pada jenjang pendidikan tertentu, baik
pendidikan usia dini, pendidikan dasar maupun pendidikan menengah yang berada
di bawah payung Departemen Pendidikan Nasional dan departemen Agama. Peserta
sertifikasi harus sudah memenuhi standar kualifikasi sekurang-kurangnya S1 atau
D IV pada bidang yang ditekuninya.
Secara garis besar, pelaksanaan sertifikasi
dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang dimiliki oleh guru bersangkutan
denga tugas dan profesinya sebagai agen pembelajaran. Beberapa data yang
dikumpulkan tersebut diantaranya berupa ijazah yang menunjukkan kualifikasi
akademik; sertifikat, piagam atau surat keteranga dalam mengikuti kegiatan pendidikan
dan pelatihan (diklat) serta dalam mengikuti lomba dan karya akademik.
Pada dasarnya pelaksanaan sertifikasi guru
mempunyai banyak tujuan. Berikut ini beberapa tujuan sertifikasi guru:[6]
1. menentukan kelayakan guru sebagai agen pembelajaran. Agen pembelajaran
berarti guru menjadi pelaku dalam proses pembelajaran. Guru yang sudah menerima
sertifikat pendidik dapat diartikan sudah layak menjadi agen pembelajaran.
2. Meningkatkan proses dan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dapat dilihat dari
mutu siswa sebagai hasil pembelajaran. Mutu siswa ini diantaranya ditentukan
dari kecerdasan, minat dan usaha siswa yang bersangkutan. Guru yang bermutu
dalam arti berkualitas dan profesional menentukan mutu siswa.
3. Meningkatkan martabat guru. Dari bekal pendidikan formal dan juga berbagai
kegiatan guru yang antara lain ditunjukkan dari dokumentasi data yang
dikumpulkan dalam proses sertifikasi maka guru akan mentransfer lebih banyak
ilmu yang dimiliki kepada siswanya. Secara psikologis, kondisi tersebut akan
meningkatkan martabat guru yang bersangkutan.
4. Meningkatkan profesionalisme. Guru yang profesional antara lain dapat
ditentukan dari pendidika, pelatihan, pengembangan diri dan berbagai aktifitas
lainya yang terkait dengan profesinya. Langkah awal untuk menjadi profesional
dapat ditempuh dengan mengikuti sertifikasi guru.
Selain mempunyai tujuan, pelaksanaan
sertifikasi guru juga mempunyai beberapa manfaat. Manfaat utama dari
sertifikasi guru adalah:[7]
1. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang merugikan citra profesi
guru. Guru yang telah mempunyai sertifikat pendidik harus dapat menerapkan
proses pembelajaran di kelas sesuai dengan teori dan praktik yang telah teruji.
2. Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan
profesional. Sekolah yang mempunyai mutu pendidikan baik ditentukan dari mutu
guru dan mutu proses pembelajaran di kelas. Dengan sertifikasi, mutu guru
diharapkan akan meningkat sehingga meningkatkan mutu sekolah. Pada akhirnya,
masyarakat dapat menilai kualitas sekolah berdasarkan mutu pendidikanya.
3. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi guru. Hasil sertifikasi diantaranya
dapat digunakan sebagai cara untuk menentukan imbalan yang sesuai dengan
prestasinya, yaitu berupa tunjangan profesi. Cara ini dapat menghindarkan dari
praktik ketidakadilan. Misalnya guru berprestasi hanya mendapat imbalan kecil.
Dengan demikian, kesejahteraan guru dapat meningkat sesuai dengan prestasi yang
diraihnya. Namun, satu hal yang ditekankan adalah bahwa tunjangan profesi bukan
munjadi tujuan utama sertifikasi. Tunjangan profesi merupakan konsekuensi logis
yang menyertai kompetensi guru.
Sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan
kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan
tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar
sepanjang hayat. Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan manajemen
pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang
berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan
profesionalisme guru itu sendiri.
Tunjangan Profesi Guru
Tunjangan profesi guru adalah tunjangan yang
diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi
persyaratan lainya. Guru yang dimaksud adalah guru PNS (Pegawai Negri Sipil)
dan guru tetap bukan PNS baik yang mengajar di sekolah negri maupun sekolah
swasta.[8]
Tunjangan profesi guru diberikan sebesar satu
kali gaji pokok guru PNS yang diangkat pada satuan pendidikan yang ditugaskan
oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Bagi guru bukan PNS, tunjangan profesi
guru diberikan setara dengan gaji pokok PNS sesuai dengan penetapan
“in-passing” jabatan fungsional guru yang bersangkutan seperti yang diatur
dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional Nomor 47 tahun 2007.
Supervisi Pendidikan
Dalam kaitanya dengan peningkatan mutu
pendidikan dan kualitas guru, maka hal ini tak lepas juga dari program
supervisi pendidikan. Supervisi pendidikan diharapkan menjadi pembimbing bagi
para guru untuk meningkatkan kualitasnya. Disini, akan kami bahas secara
singkat mengenai supervisi pendidikan.
Drs. N. A. Ametembun dalam bukunya Supervisi
Pendidikan mengatakan supervisi pendidikan adalah pembinaan berupa
bimbingan (guidance) atau tuntunan (tur wuri handayani) ke arah pembinaan diri
orang-orang yang disupervisi agar sanggup menyelenggarakan perbaikan atau
peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran yang dicita-citakan; termasuk pula
dalam proses ini adalah pembinaan diri supervisor sendiri.[9]
Dengan kata lain, supervisi pendidikan adalah
pembinaan ke arah perbaikan situasi pendidikan dan pengajaran pada umumnya
serta peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.
Supervisi pendidikan (supervisi akademik)
adalah bantuan atau pelayanan kepada guru-guru agar pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar dapat berjalan lebih baik dan berkualitas. Fungsi dasar
supervisi meningkatkan atau memperbaiki situasi belajar bagi murid. Supervisi
merupakan aktivitas yang terprogram, berencana, dan berlangsung kontinyu.[10]
Adapun tujuan umum supervisi pendidikan adalah
memajukan sekolah secara kontinu dengan jalan membina, memimpin dan menilai
pekerjaan kepala sekolah dan guru dalam usaha mereka mempertinggi mutu
pendidikan yang diberikan kepada murid dengan perantaraan perbaikan situasi
belajar-mengajar ke arah terjelmanya tujuan pendidikan.
Sedangkan tujuan khususnya bisa dirumuskan
menjadi beberapa hal. Diantaranya adalah:
1. Membantu guru-guru untuk lebih memahami tujuan yang sebenarnya dari
pendidikan dan peranan sekolah dalam usaha mencapai tujuan.
2. Membantu guru-guru untuk dapat lebih menyadari dan memahami
kebutuhan-kebutuhan dan kesulitan-kesulitan murid serta menolong mereka untuk
mengatasinya.
3. Memperbesar kesanggupan guru-guru untuk memperlengkapi dan mempersiapkan
murid-muridnya menjadi anggota masyarakat yang efektif.
4. Membantu guru mengadakan diagnose secara kritis aktivitas-aktivitasnya,
serta kesulitan-kesulitan mengajar dan belajar murid-muridnya, dan menolong
mereka merencanakan perbaikan.
5. Membantu guru-guru untuk dapat menilai aktifitas-aktifikasnya dalam rangka
tujuan perkembangan anak didik.
6. Memperbesar kesadaran guru-guru terhadap tata kerja yang demokratis dan
kooperatif serta memperbesar kesediaan untuk saling tolong menolong.
7. Memperbesar ambisi guru-guru untuk meningkatkan mutu karyanya secara
maksimal dalam bidang profesi/ keahlianya.
8. Membantu guru-guru untuk dapat lebih memanfaatkan pengalaman-pengalamanya
sendiri.
9. Membantu untuk lebih mempopulerkan sekolah kepada masyarakat agar bertambah
simpati dan kesediaan masyarakat untuk menyokong sekolah.
10. Memperkenalkan guru-guru atau karyawan baru kepada situasi sekolah dan
profesinya.
11. Melindungi guru-guru dan karyawan pendidikan terhadap tuntutan-tuntutan
yang tidak wajar dan kritik-kritik tak sehat dari berbagai kalangan.
12. Mengembangkan profesionalisme guru
Kesimpulan
Guru bukan hanya pendidik dan pengajar dalam
ruang lingkup sekolah, tapi ia lebih daripada itu yaitu sebagai agen perubahan.
Perubahan bukan hanya pada tingkat lokal, bahkan revolusi peradaban dunia
bertolak pada pendidikan yang diberikan oleh para guru. Gagasan-gagasan mereka
menjadi penerang dan tonggak menuju kehidupan yang lebih baik.
Terlepas dari itu semua, guru juga adalah
manusia biasa. Mempunyai banyak kekurangan dan mungkin juga salah. Pendidikan
guru terus ditempa untuk menghasilkan calon guru yang ideal. Oleh karena itu,
disusunlah manajemen penigkatan kualitas guru.
Dalam pandangan umum, peningkatan guru dapat
ditimbang dari tiga hal yaitu: Kompetensi guru, Sertifikasi guru dan tunjangan
guru. Kompetensi guru berkaitan erat dengan amant yang diemban. Dengan
kompetensi yang prima, seorang guru dapat mendidik para siswa dengan baik serta
membuahkan hasil yang menyenangkan.
Setelah teruji kompetensi guru maka guru akan
mendapatka sertifikasi sesuai dengan profesionalismenya. Hal ini untuk
memudahkan penempatan guru-guru dalam bidang studi, sehingga dapat mendongkrak
kualitas pengajaran.
Tunjangan guru juga tak kalah penting dalam
meningkatkan profesionalitas guru. Sebagai guru yang profesional, sudah
selayaknya mendapatkan tunjangan setingkat kemampuanya. Hal ini juga agar guru
merasa nyaman dan sejahtera sehingga dapat berkonsentrasi dalam hal belajar
mengajar serta meningkatkan kualitas hasil pendidikan dan mutu sekolah.
Diakhir, evaluasi adalah hal yang sangat
penting bagi jalanya suatu program kerja. Begitujuga dalam kegiatan belajar
mengajar, perlu di evaluasi. Evaluasi bukan hanya bersifat mengkritik, tapi
juga berusaha memperbaiki dan membimbing para praktisi pendidikan dalam
mencapai tujuanya.
Terakhir, dengan meningkatnya kualitas guru,
maka insyaallah akan mampu mendongkrak kualitas hasil pendidikan pada khususnya
dan meningkatkan martabat bangsa Indonesia pada umumnya.
Referensi
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2007) h.393
Ensiklopedi Bebas Wikipedia, id.wikipedia.org/wiki/Guru
Lnggulung, Prof. Dr. Hasan, Manusia dan Pendidikan, suatu analisa
psikologi dan pendidikan. Jakarta: Al-Hussna Dzikra, 1995
Sembiring, M. Gorky , Mengungkap Rahasia dan Tips manur Menjadi guru
sejati. Yogyakarta: Galang Press, 2008
Sujanto, Bedjo, Cara Efektik Menuju Sertifikasi Guru. Jakarta: Raih
Asa Sukses, 2009
Pedoman Pelaksanaan Penyaluran Tunjangan Profesi Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Drs. N. A.
Ametembun, Supervisi Pendidikan, Penuntun bagi para penilik pengawas kepala
sekolah dan guru-guru. Bandung: Suri, 1981
Dharma, Surya, MPA, Ph.D, Evaluasi Program Supervisi Pendidikan. Jakarta:
Departement Pendidikan Nasional, 2007
[1] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai
Pustaka, 2007) h.393
[2] Ensiklopedi
Bebas Wikipedia, id.wikipedia.org/wiki/Guru
[3] Prof. Dr.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, suatu analisa psikologi dan
pendidikan (Jakarta: Al-Hussna Dzikra, 1995) h.228
[4] M.
Gorky sembiring, Mengungkap Rahasia dan Tips manur Menjadi guru sejati,
(Yogyakarta: Galang Press, 2008) h.38
[5] Bedjo
Sujanto, Cara Efektik Menuju Sertifikasi Guru (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2009) h. 6
[8] Pedoman
Pelaksanaan Penyaluran Tunjangan Profesi Guru (Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, 2008)
[9] Drs.
N. A. Ametembun, Supervisi Pendidikan, Penuntun bagi para penilik pengawas
kepala sekolah dan guru-guru (Bandung: Suri, 1981) h.7
[10]
Surya Dharma, MPA, Ph.D, Evaluasi Program Supervisi Pendidikan (Jakarta:
Departement Pendidikan Nasional, 2007)
0 komentar:
Posting Komentar